Oleh Abu Izzuddin
“Pak, besok madrasah masjid mau menampilkan apa?”, tanya anakku kemarin.
“Nggak tahu ya le…, yang penting takbirannya yang bener, nggak pakai maskot yang bagus juga nggak apa-apa“ jawabku.
Si sulung Izzuddin bermaksud menanyakan, madrasah kampungnya mau menampilkan maskot apa untuk lomba takbir keliling Idul Adha nanti. Itulah pandangan dan isi hati anak kecil. Yang menyukai sesuatu yang mencolok, indah dan gemerlap. Itu memang sesuatu yang alami, dan tak perlu di salahkan, karena tabiat anak-anak yang memang seperti itu.
Memang, takbiran Idul Adha sebentar lagi. Banyak madrasah, organisasi kepemudaan, aktivis masjid/musholla mengadakan lomba takbiran dengan menampilkan atraksi, maskot, maupun pengiring takbiran dengan drum-band yang cukup wah (jika tak boleh dikatakan mewah). Lalu, adakah yang salah…?
Tidak memang, karena itu juga bisa dijadikan sarana untuk syiar Islam, menyambut hari besar kaum muslimin. Tapi, itu menjadi salah jika lomba diniatkan untuk mencari “kemenangan” yang semu. Biar madrasahnya di anggap hebat, paling bagus, dan paling-paling yang lain, dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membuat maskot, sewa/beli drum band, dan lain sebagainya, di saat ummat yang lain memerlukan uluran tangan kita. Korban bencana merapi, mentawai, wasior, fakir miskin, anak yatim piatu dan kaum dhuafa yang lain.
Sesungguhnya makna takbir begitu dalam. Kalimat “Allahu Akbar” mampu mengobarkan semangat yang begitu dahsyat. Dalam kesendirianpun, takbir itu bisa menjadi penggugah hati yang “mati suri” oleh sebab keangkuhan.
Betapa kita merasa cerdas, pandai, kaya, kuat, hebat, berjasa & telah menjadi pahlawan karena kerja-kerja dakwah kita, namun tatkala kita memahami betapa Allahlah yang menjadikan kita seperti itu, maka semua kebanggaan dan keangkuhan itu akan lebur. Sungguh memang hanya Allah yang menjadikan kita mampu berdiri, bekerja dan terus berjuang untuk dakwah dan jihad ini. Dan kita hanyalah hamba yang diamanahi semua fasilitas hidup ini.
Ingatlah juga wahai sahabat, takbirmu adalah tanaman yang akan menghiasi taman surga di akhirat kelak. Saat Rasulullah Muhammad saw melakukan perjalanan Isro’ Mi’raj, saat beliau bertemu dengan nabi Ibrahim as, maka nabi Ibrahim as menyampaikan salamnya kepada kita dan berwasiat sesuatu untuk kita.
“Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada ummatmu, dan sampaikanlah kabar gembira kepada mereka, bahwa surga itu airnya jernih, udaranya begitu sejuk & tanahnya begitu subur. Tanamannya adalah kalimat Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah dan Allahu Akbar…”.
Ya, saat kita berdzikir, bertasbih dan bertakbir, maka pada hakikatnya kita sedang menanam pepohonan di surga.
Lalu jika kita hanya main-main dalam bertakbir, apakah kita masih berharap akan memetik hasil tanaman kita…? Lalu apakah pantas jika kalimat yang begitu agung “hanya” di pakai untuk mengejar trophi dan hadiah “ala kadarnya” dari panitia lomba…?
Wahai kawan, masih terngiang dan selalu terngiang syair dari Izzatul Islam yang kurang lebih berbunyi…
“ yang terjadi… di saat melantum takbir… ummat berucap sebatas lisan… “
“ tiada… di paham begitu dalam… makna hakikat yang tertuang… “
Sungguh jika dirasakan saat ini memang lebih banyak ummat yang mengucapkan takbir tidak dari “hati” mereka. Sehingga kalimat itu begitu hambar terasa oleh telinga. Tidak membawa pengaruh yang signifikan dalam qalbu, bahkan membuat orang malas mendengarkannya. Kenapa, karena ia tidak keluar dari hati yang ikhlas, tidak keluar dari jiwa yang hidup, tidak keluar dari azzam yang kuat.
Sahabat, jika setiap saat kita bertakbir dalam sholat kita, dalam ma’tsurat kita, dalam diam kita, dalam gerak kita, dalam kerja kita, dalam jihad kita, dalam dakwah kita… tapi tak kunjung meletupkan azzam kita, kita mungkin perlu bertanya, "Apakah jasad kita telah dewasa, namun hati dan jiwa kita masih kanak-kanak…???"
[+/-] Selengkapnya...
[+/-] Ringkasan saja...